Ulasan
ini adalah rekaman kehidupan masyarakat lampau Bugis-Makassar dengan
bangsa luar yang diungkapkan sejarawan mancanegara, dalam beberapa
peristiwa yang terkait erat dengan ideologi, kultur budaya, seni
sastra, peperangan, pengembaraan dan seni beladiri. Ulasan ini sebagai
sinyalemen perekatan terhadap peristiwa langsung dengan bangsa luar,
dengan harapan dapat menjadi tambahan metafora revitalisasi dari
identitas masa lampau itu sendiri. Mengenai keberadaan prajurit
Bugis-Makassar dalam hubungan mereka dengan orang portugis, buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 menguraikan sebagai berikut :
“….kedua suku bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka sebagai
prajurit-prajurit yang paling ditakuti di Nusantara. Mereka juga
prajurit-prajurit yang paling profesional. Terdapat naskah-naskah
yang memuat terjemahan karangan-karangan berbahasa Spanyol dan Portugis
mengenai pembuatan meriam kedalam bahasa Bugis-Makassar dan tidak ada
satupun terjemahan semacam itu dalam bahasa Indonesia
lainya…”(M.C.Ricklefs,2001).
Pandangan
mereka tentang ideologi dalam peperangan, Van Goens seorang pegawai VOC
Belanda, menulis dalam laporannya sekitar tahun 1660-an : “orang Gowa
ternyata memerangi kami (Belanda) tidak dengan permusuhan dan kebencian
yang dalam, akan tetapi dengan alasan perintah Allah; Tuhan mereka dan
demi mempertahankan kelanjutan hidup agamanya (Islam) dan demi
melindungi semua orang Islam”. (B.Schrieke).
Cyril Horomnick, sejarawan Amerika yang meneliti sejarah Afrika Selatan
dan Madagaskar menyimpulkan bahwa kerajaan tertua Bugis sudah eksis
sebelum tahun 805 atau 953 jikalau ditilik dari riset Cyril Horomnick,
bahwa abad ke-1 sampai abad ke-10 mengatakan “orang Bugis-Makassar
mereka adalah bajak laut, juga pemasok budak utama di persada
Nusantara”.
Mereka sudah mengunjungi Madagaskar pada kurun waktu yang disebutkan.
Tidak sedikit bangsawan dan tetua Bugis menyimpan kulit paojengki.(adalah
buah dari langit Jenis buah ini dibawah kembali oleh orang Sulawesi
Selatan yang mendatangi daerah itu baik sebagai pedagang, pelaut, atau
pekerja di tambang emas, mungkin juga oleh budak kalau dia berhasil
bebas).[1].
Dr. Phuwadol Songprasert,sejarawan Universitas Kasetsart, yang juga
sekertaris Jendral The Sosial Science Association of Thailand, ”mereka
berani dan terampil dalam perkara bertarung, orang Bugis-Makassar yang
betubuh kekar terkenal piawai di dalam perang dan ahli navigasi, ia
bermukim di Bangkok(Siam) sebagai sewaan untuk mengajari ilmu perang
dan teknik berkelahi, ketika itu Siam menghadapi agresi Myanmar (Birma),
mereka adalah pelaut tulen”.
Tentang aksara lontara, [2]Prof.Dr.
Mr. J.C.G. Jonker, warga Belanda dalam kurun waktu 1886-1896,
mengungkapkan, “mereka telah mempunyai bahan tulisan tangan La Galigo
(dirasakan penting karena sastra terpanjang milik bangsa Indonesia makin
diminati dan dipelajari dunia internasional seperti tercermin dalam
pementasan teater Megapolis dunia yaitu Singapura, London, Roma, Athena
&New York), yang mula-mula aksara Lontara itu mereka sebut aksara
jangang-jangang; dalam bahasa Makassar berarti burung .
Eksodus suku Bugis-Makassar secara besar-besaran telah terjadi pada
abad ke-17, menjadikan laut bebas serta perairan sebagai khasanah medan
laga dalam keberlangsungan hidup. Dalam sejarah, para pelaut Sulawesi
dengan kapal pinisi-nya tercatat telah mencapai Madagaskar di Afrika.
Gelombang pertama terjadi pada abad ke-2 dan 4, gelombang kedua datang
pada abad ke-10 dan gelombang terakhir pada abad ke-17 (masa
pemerintahan Sriwijaya). Pendatang dari Indonesia tersebut menetap dan
mendirikan sebuah kerajaan bernama Merina.
Pada masa sekarang, ekspedisi kapal pinisi yang terkenal adalah Pinisi
Nusantara yang berlayar ke Vancouver, Kanada yang memakan waktu 62 hari,
pada tahun 1986 yang lalu. Tahun 1987, ada lagi ekspedisi perahu
Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin, Australia, mengikuti rute klasik.
Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir pelayaran Pinisi
Damar Segara ke Jepang. [3].
Tidak
heran bila memunculkan julukan dari berbagai pihak terhadap mereka
yang tersirat dalam kata sebagai pelaut, bajak laut, dan raja laut, tiga
istilah ini hanya terjadi dan dilakoni oleh orang yang mempunyai jiwa
petarung serta darah dan semangat bahari, seorang sarjana Barat (M.C.Ricklefts,2001). Menulis “mereka
bagaikan perompak–perompak Viking yang sedang mencari kehormatan,
kekayaan dan tempat tinggal baru. Mereka melibatkan diri dalam
peristiwa-peristiwa di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaysia, bahkan sampai Siam. Sampai abad ke-16, para
prajurit ganas ini menjadi momok di nusantara.
[1]Nasaruddin Koro, “ Ayam Jantan Tanah Daeng”.
[2] Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya- -----pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji
adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah
ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar
klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf
lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan
dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar